Kamis, 11 Desember 2014

HILANGNYA IDENTITAS YOGYAKARTA SEBAGAI KOTA BUDAYA DAN PENDIDIKAN

HILANGNYA IDENTITAS YOGYAKARTA SEBAGAI KOTA BUDAYA DAN  PENDIDIKAN





Kota Yogyakarta yang telah dipercaya oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia sebagai kota pelajar dan kota budaya saat ini sangat dipertanyakan. Sebagai lingkungan pendidikan seharusnya kota Yogyakarta bisa menyediakan ruang diskusi , menyediakan taman bacaan bagi para pelajar, menyediakan perpustakaan kota yang lebih banyak, dan mengurangi tempat hiburan malam yang memiliki dampak negatif bagi pelajar. Bukti dari kota Yogyakarta yang kental dengan image kota pendidikan dengan Hasil Sensus Penduduk Tahun 1980 dan 1990 menunjukkan bahwa sebagian besar  berusia 15-29 tahun . Dengan mempertimbangkan bahwa usia tersebut merupakan usia SMU dan Perguruan Tinggi, maka ciri tersebut merupakan salah satu bukti bahwa penduduk yang masuk ke Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah pelajar dan mahasiswa.
Disamping itu kita juga bisa melihat saat ini Yogyakarta telah kehilangan image kota yang tenang dan nyaman untuk dihuni , Dilihat dari kemacetan yang mulai timbul di Yogyakarta dengan banyaknya kendaraan  bermobil atau motor dibandingkan dengan sepeda, hiruk pikuk anak muda yang berkumpul di pinggir jalan dengan komunitas-komunitasnya, dan banyaknya tempat-tempat atau bangunan baru untuk hiburan atau tempat menghabiskan waktu  Cuma-Cuma untuk para kamu muda. Dengan melihat banyaknya pendatang yang merupakan sebagian besar anak muda dari kota besar di Indonesia dan sudah terbiasa dengan kehidupan metropolis, maka pebisnis kuliner dan investor asing mulai tertarik memasuki kota Yogyakarta sebagai ladang bisnis mereka. Para pebisnis ini juga semakin pintar dengan menghadirkan makanan yang unik dikalangan mahasiswa , sehingga dapat menarik perhatian masyarakat untuk mencicipi makanan tersebut. Hampir seluruh kafe di Yogya juga dihadirkan dengan konsep design interior yang nyaman agar para konsumen selalu datang ke kafe mereka. Dengan melihat target sasaran anak muda yang hampir rata-rata sebagai mahasiswa, para pebisnis ini memberikan fasilitas seperti wifi gratis karena mahasiswa pasti akan selalu tergiur dengan keberadaan internet yang bebas biaya. Sangat disayangkan sekali hampir seluruh kafe di Yogya mengadaptasikan konsep kafe mereka ke arah barat. Hal ini juga disampaikan oleh Edi(32th) salah satu pemilik kafe di Yogyakarta. Menurutnya, ketika ingin membuat sebuah kafe tentunya harus menentukan target dan sasaran kustomer mereka dari populasi didaerah tersebut, “ karena hampir rata-rata penduduk di Yogya ini pendatang dari berbagai daerah dan golongan pelajar anak muda, maka kami mengambil tema kafe kami ke arah european garden dengan design yang lucu dan unik khas  taman-taman di eropa , dan tentunya karena kami membuka kafe dilingkungan pelajar kami juga harus menyediakan free wifi bagi kustomer kami agar betah dan terus-terusan datang kesini,” ujarnya.





 Hedonisme yang terjadi juga dapat dilihat dari banyaknya toko-toko busana dan retoran franchise dari luar negeri dan hampir rata-rata mahasiswa lebih memilih berbelanja barang brand luar negeri itu dibandingkan dengan barang buatan indonesia. Anak muda saat ini juga lebih memilih meminum kopi di cafe-cafe seperti Starbucks , Jco, Calais, Dunkin Donuts daripada menikmati kopi di warung angkringan atau warkop-warkop terdekat, Karena mereka akan terlihat lebih elegan dan akan memiliki status sosial yang tinggi dikalangan masyarakat jika mengikuti pola kehidupan barat, dan juga fasilitas wifi dihampir setiap kafe di Yogyakarta juga menarik perhatian pelajar. Pendapat ini juga dituturkan oleh vanesa(28th), mahasiswi psikologi Universitas Mercu Buana. ia mengaku lebih sering mengahabiskan waktu bersama teman-temannya di starbucks karena kopi yang dihidangkan di starbucks lebih enak daripada kopi buatan angkringan atau kedai-kedai kopi khas Indonesia, “aku lebih senang nongkrong di starbucks soalnya kopinya enak klo dibandingkan dengan kopi-kopi di burjo atau diangkringan, selain itu dari tempatnya pun juga beda banget, lebih nyaman di starbucks dan ada free wifi nya juga, kalau di angkringan kan mana ada wifi nya,”tuturnya. Sedangkan Prihati(21th) mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Pembangunan “ Veteran” Yogyakarta, berpendapat bahwa ia sering berkunjung ke starbucks atau kafe franchise luar negeri hanya karena mengikuti pergaulan teman-temannya saja atau sekedar rapat untuk acara kampus. Hampir seluruh penduduk di Indonesia terutama anak muda menjadikan negara barat sebagai kiblat kemajuan dari suatu negara atau bahkan individu seseorang , maka tidak heran banyak masyarakat yang lebih cinta dengan kebudayaan orang lain daripada kebudayaan sendiri. Padahal dengan nama yogyakarta sebagai kota budaya, seharusnya memperbanyak usaha kuliner di Yogya dengan khas budaya Yogya itu sendiri dan melarang masuknya pasar bebas dari luar negeri, Menjamurnya berbagai macam usaha kuliner yang mengusung budaya barat dan masuknya pasar bebas, justru mematikan usaha para pedagang makanan tradisional di Yogya.

Yogyakarta juga memiliki banyak tempat hiburan , seperti tempat karaoke, bioskop , dan kita dapat melihat banyak mall di Yogyakarta. Kehadiran tempat hiburan seperti ini justru malah melencengnya dari nama Yogyakarta sebagai kota budaya dan kota pendidikan. Pelajar saat ini lebih senang menghabiskan waktu di mall berjam-jam daripada membaca buku diperpustakaan. Seharusnya pemerintah Yogya saat ini lebih fokus terhadap tempat-tempat untuk belajar bagai para pelajar yang berada dikota ini dan tidak mementingkan faktor ekonomi semata.Tempat hiburan yang hadir pun bukan hanya sekedar tempat hiburan untuk siang hari. Di Yogyakarta juga sudah banyak tempat hiburan malam seperti pub-pub yang menawarkan dunia gemerlap metropolis. Hal yang paling mencengangkan lagi , pengunjung dari tempat hiburan tersebut hampir rata-rata mahasiswa atau pelajar. Mereka disana bukan hanya sekedar untuk kumpul semata, melainkan untuk menikmati minuman alkohol dan lampu sorot panggung pub. Sungguh sangat disayangkan mahasiswa atau pelajar saat ini sudah terjun terlalu dalam pada budaya hedonisme dibandingkan dengan budaya intelektual. Kehidupan seperti ini juga diadaptasi dari kehidupan barat, unsur budaya barat yang datang sebenarnya berasal dari globalisasi media saat ini. Semakin derasnya informasi yang masuk ke negara ini, terkadang tidak dapat diserap dengan baik oleh masyarakatnya bahkan untuk masyarakat yang memiliki kualitas pendidikan yang tinggi seperti mahasiswa.
Perubahan gaya hidup lainnya yang dirasa menyimpang dari kaidah-kaidah dan struktur budaya yang ada di kota Yogyakarta adalah perilaku seks bebas yang terjadi dikalangan mahasiswa atau pelajar. Saat ini banyak kost-kostan ataupun kontrakan yang dimanfaatkan oleh mahasiswa atau pelajar untuk dijadikan tempat seks bebas tanpa ada pegontrolan dari pemilik tempat kost dan orang tua mereka.  Mereka seakan diberikan kehidupan yang penuh dengan hiburan dan godaan keduniawian yang tak terbatas. Dan terkadang godaan yang datang malah membuat para pelajar melenceng jauh datri tujuan utamanya untuk mencari ilmu. Perilaku menyimpang seperti seks bebas dan kegiatan dunia malam ini sebenarnya juga telah keluar dari intitusi agama yang mereka yakini. Kelemahan struktur kegamaan yang dimiliki anak muda saat ini bisa berdasarkan dari faktor keluarga, lingkungan, dan indvidu. Seorang anak yang kurang perhatian dari keluarganya maka biasanya mereka kurang mendapatkan pendidikan rohani , ketika mereka terbebas dari pengawasan orang tua maka mereka justru melakukan tindakan yang tidak berguna dan melupakan instansi keagamaannya. Saat ini banyak orang tua yang lebih mementingkan kehidupan materil daripada memperhatikan tumbuh kembang anak. Materil memang saat ini merupakan alat utama dimana struktur masyarakat dibentuk , ketika materil dijadikan sebagai dewa dari kemakmuran saat ini sebenarnya malah membentuk suatu eksploitasi kelas dikalangan masyarakat. Maka dari itu eksistensi agama sangat penting karena memainkan funsi integratif yang sangat besar. Dengan agama pun seseorang bisa lebih sadar dimana dan batasan dari perilaku yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat yang lebih manusiawi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar