HILANGNYA IDENTITAS YOGYAKARTA
SEBAGAI KOTA BUDAYA DAN PENDIDIKAN
Kota Yogyakarta yang
telah dipercaya oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia sebagai kota
pelajar dan kota budaya saat ini sangat dipertanyakan. Sebagai lingkungan
pendidikan seharusnya kota Yogyakarta bisa menyediakan ruang diskusi ,
menyediakan taman bacaan bagi para pelajar, menyediakan perpustakaan kota yang
lebih banyak, dan mengurangi tempat hiburan malam yang memiliki dampak negatif
bagi pelajar. Bukti dari kota Yogyakarta yang kental dengan image kota pendidikan dengan Hasil
Sensus Penduduk Tahun 1980 dan 1990 menunjukkan bahwa sebagian besar berusia 15-29 tahun . Dengan mempertimbangkan
bahwa usia tersebut merupakan usia SMU dan Perguruan Tinggi, maka ciri tersebut
merupakan salah satu bukti bahwa penduduk yang masuk ke Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah pelajar dan mahasiswa.
Disamping itu kita
juga bisa melihat saat ini Yogyakarta telah kehilangan image kota yang tenang
dan nyaman untuk dihuni , Dilihat dari kemacetan yang mulai
timbul di Yogyakarta dengan banyaknya kendaraan
bermobil atau motor dibandingkan dengan sepeda, hiruk pikuk anak muda
yang berkumpul di pinggir jalan dengan komunitas-komunitasnya, dan banyaknya
tempat-tempat atau bangunan baru untuk hiburan atau tempat menghabiskan waktu Cuma-Cuma untuk para kamu muda. Dengan melihat
banyaknya pendatang yang merupakan sebagian besar anak muda dari kota besar di
Indonesia dan sudah terbiasa dengan kehidupan metropolis, maka pebisnis kuliner
dan investor asing mulai tertarik memasuki kota Yogyakarta sebagai ladang
bisnis mereka. Para pebisnis ini juga semakin pintar
dengan menghadirkan makanan yang unik dikalangan mahasiswa , sehingga dapat
menarik perhatian masyarakat untuk mencicipi makanan tersebut. Hampir seluruh
kafe di Yogya juga dihadirkan dengan konsep design interior yang nyaman agar
para konsumen selalu datang ke kafe mereka. Dengan melihat target sasaran anak
muda yang hampir rata-rata sebagai mahasiswa, para pebisnis ini memberikan
fasilitas seperti wifi gratis karena mahasiswa pasti akan selalu tergiur dengan
keberadaan internet yang bebas biaya. Sangat disayangkan sekali hampir seluruh
kafe di Yogya mengadaptasikan konsep kafe mereka ke arah barat. Hal ini juga
disampaikan oleh Edi(32th) salah satu pemilik kafe di Yogyakarta. Menurutnya,
ketika ingin membuat sebuah kafe tentunya harus menentukan target dan sasaran
kustomer mereka dari populasi didaerah tersebut, “ karena hampir rata-rata
penduduk di Yogya ini pendatang dari berbagai daerah dan golongan pelajar anak
muda, maka kami mengambil tema kafe kami ke arah european garden dengan design
yang lucu dan unik khas taman-taman di
eropa , dan tentunya karena kami membuka kafe dilingkungan pelajar kami juga
harus menyediakan free wifi bagi kustomer kami agar betah dan terus-terusan
datang kesini,” ujarnya.
Hedonisme yang terjadi juga dapat dilihat dari banyaknya toko-toko busana dan retoran franchise dari luar negeri dan hampir rata-rata mahasiswa lebih memilih berbelanja barang brand luar negeri itu dibandingkan dengan barang buatan indonesia. Anak muda saat ini juga lebih memilih meminum kopi di cafe-cafe seperti Starbucks , Jco, Calais, Dunkin Donuts daripada menikmati kopi di warung angkringan atau warkop-warkop terdekat, Karena mereka akan terlihat lebih elegan dan akan memiliki status sosial yang tinggi dikalangan masyarakat jika mengikuti pola kehidupan barat, dan juga fasilitas wifi dihampir setiap kafe di Yogyakarta juga menarik perhatian pelajar. Pendapat ini juga dituturkan oleh vanesa(28th), mahasiswi psikologi Universitas Mercu Buana. ia mengaku lebih sering mengahabiskan waktu bersama teman-temannya di starbucks karena kopi yang dihidangkan di starbucks lebih enak daripada kopi buatan angkringan atau kedai-kedai kopi khas Indonesia, “aku lebih senang nongkrong di starbucks soalnya kopinya enak klo dibandingkan dengan kopi-kopi di burjo atau diangkringan, selain itu dari tempatnya pun juga beda banget, lebih nyaman di starbucks dan ada free wifi nya juga, kalau di angkringan kan mana ada wifi nya,”tuturnya. Sedangkan Prihati(21th) mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Pembangunan “ Veteran” Yogyakarta, berpendapat bahwa ia sering berkunjung ke starbucks atau kafe franchise luar negeri hanya karena mengikuti pergaulan teman-temannya saja atau sekedar rapat untuk acara kampus. Hampir seluruh penduduk di Indonesia terutama anak muda menjadikan negara barat sebagai kiblat kemajuan dari suatu negara atau bahkan individu seseorang , maka tidak heran banyak masyarakat yang lebih cinta dengan kebudayaan orang lain daripada kebudayaan sendiri. Padahal dengan nama yogyakarta sebagai kota budaya, seharusnya memperbanyak usaha kuliner di Yogya dengan khas budaya Yogya itu sendiri dan melarang masuknya pasar bebas dari luar negeri, Menjamurnya berbagai macam usaha kuliner yang mengusung budaya barat dan masuknya pasar bebas, justru mematikan usaha para pedagang makanan tradisional di Yogya.
Yogyakarta
juga memiliki banyak tempat hiburan , seperti tempat karaoke, bioskop , dan
kita dapat melihat banyak mall di Yogyakarta. Kehadiran tempat hiburan seperti
ini justru malah melencengnya dari nama Yogyakarta sebagai kota budaya dan kota
pendidikan. Pelajar saat ini lebih senang menghabiskan waktu di mall berjam-jam
daripada membaca buku diperpustakaan. Seharusnya pemerintah Yogya saat ini
lebih fokus terhadap tempat-tempat untuk belajar bagai para pelajar yang berada
dikota ini dan tidak mementingkan faktor ekonomi semata.Tempat hiburan yang
hadir pun bukan hanya sekedar tempat hiburan untuk siang hari. Di Yogyakarta
juga sudah banyak tempat hiburan malam seperti pub-pub yang menawarkan dunia
gemerlap metropolis. Hal yang paling mencengangkan lagi , pengunjung dari
tempat hiburan tersebut hampir rata-rata mahasiswa atau pelajar. Mereka disana
bukan hanya sekedar untuk kumpul semata, melainkan untuk menikmati minuman
alkohol dan lampu sorot panggung pub. Sungguh sangat disayangkan mahasiswa atau
pelajar saat ini sudah terjun terlalu dalam pada budaya hedonisme dibandingkan
dengan budaya intelektual. Kehidupan seperti ini juga diadaptasi dari kehidupan
barat, unsur budaya barat yang datang sebenarnya berasal dari globalisasi media
saat ini. Semakin derasnya informasi yang masuk ke negara ini, terkadang tidak
dapat diserap dengan baik oleh masyarakatnya bahkan untuk masyarakat yang
memiliki kualitas pendidikan yang tinggi seperti mahasiswa.
Perubahan
gaya hidup lainnya yang dirasa menyimpang dari kaidah-kaidah dan struktur
budaya yang ada di kota Yogyakarta adalah perilaku seks bebas yang terjadi
dikalangan mahasiswa atau pelajar. Saat ini banyak kost-kostan ataupun kontrakan
yang dimanfaatkan oleh mahasiswa atau pelajar untuk dijadikan tempat seks bebas
tanpa ada pegontrolan dari pemilik tempat kost dan orang tua mereka. Mereka seakan diberikan kehidupan yang penuh
dengan hiburan dan godaan keduniawian yang tak terbatas. Dan terkadang godaan
yang datang malah membuat para pelajar melenceng jauh datri tujuan utamanya
untuk mencari ilmu. Perilaku menyimpang seperti seks bebas dan kegiatan dunia
malam ini sebenarnya juga telah keluar dari intitusi agama yang mereka yakini.
Kelemahan struktur kegamaan yang dimiliki anak muda saat ini bisa berdasarkan
dari faktor keluarga, lingkungan, dan indvidu. Seorang anak yang kurang
perhatian dari keluarganya maka biasanya mereka kurang mendapatkan pendidikan
rohani , ketika mereka terbebas dari pengawasan orang tua maka mereka justru
melakukan tindakan yang tidak berguna dan melupakan instansi keagamaannya. Saat
ini banyak orang tua yang lebih mementingkan kehidupan materil daripada
memperhatikan tumbuh kembang anak. Materil memang saat ini merupakan alat utama
dimana struktur masyarakat dibentuk , ketika materil dijadikan sebagai dewa
dari kemakmuran saat ini sebenarnya malah membentuk suatu eksploitasi kelas
dikalangan masyarakat. Maka dari itu eksistensi agama sangat penting karena
memainkan funsi integratif yang sangat besar. Dengan agama pun seseorang bisa
lebih sadar dimana dan batasan dari perilaku yang seharusnya dilakukan oleh
masyarakat yang lebih manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar